Analisis
Undang-Undang Ketenagakerjaan
No.13
Tahun 2003
Ketenagakerjaan
sejatinya dibuat untuk menggantikan produk hukum yang lama karena dianggap
menempatkan pekerja pada posisi kurang menguntungkan dalam hubungan industrial.
Kenyataan menunjukkan hal berbeda. Beberapa pasal UU Ketenagakerjaan justru
dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai merugikan buruh.
Dimulai
ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
permohonan judicial review yang diajukan Saipul Tavip dkk pada akhir
2004 silam. Kala itu MK membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada
pengusaha untuk memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan
berat.
UU
Ketenagakerjaan kembali dipereteli pada tahun 2010. Kali ini pengajuan
dilakukan Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat
(1) dan ayat (2) UU ketenagakerjaan yang mengatur soal syarat perundingan
Perjanjian Kerja Bersama dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi
Kemudian
pada akhir tahun 2011, sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) tentang upah proses
untuk diuji dan dikabulkan MK sebagian. Terakhir adalah putusan MK di
awal tahun 2012 yang mengabulkan permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca
Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait pasal yang mengatur mengenai outsourcing.
MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional
bersyarat. Pemerintah
sebenarnya sadar UU Ketenagakerjaan sudah tak utuh lagi. Makanya Menteri Tenaga
dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan UU Ketenagakerjaan layak untuk
disempurnakan.
Bicara
UU Ketenagakerjaan berarti akan berbicara pula setidaknya dua kepentingan,
yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini yang kerap
bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja menuntut
kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung
sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan UU
Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.
Perbedaan mengenai perlu tidaknya revisi UU Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi UU Ketenagakerjaan ini.
Senada, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan UU Ketenagakerjaan. Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi UU Ketenagakerjaan. Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh untuk menyiapkan draf revisi UU Ketenagakerjaan. Salah satu pemicunya adalah banyaknya putusan MK yang membatalkan UU Ketenagakerjaan. “Kita tidak sekedar menolak, tapi konsep juga harus punya.”
Perbedaan mengenai perlu tidaknya revisi UU Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi UU Ketenagakerjaan ini.
Senada, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan UU Ketenagakerjaan. Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi UU Ketenagakerjaan. Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh untuk menyiapkan draf revisi UU Ketenagakerjaan. Salah satu pemicunya adalah banyaknya putusan MK yang membatalkan UU Ketenagakerjaan. “Kita tidak sekedar menolak, tapi konsep juga harus punya.”
Sementara,
dunia usaha menginginkan agar ketentuan di UU Ketenagakerjaan yang tergolong
memberatkan pengusaha, direvisi. Salah satu ketentuan yang dianggap memberatkan
pengusaha adalah mengenai pesangon.
Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto punya pandangan yang lebih
konseptual mengenai pentingnya mengganti UU Ketenagakerjaan. Soalnya menurut
dia ada ketidakselarasan antara judul, maksud dan substansi UU Ketenagakerjaan.
Dari
isinya, lanjut Djimanto, UU Ketenagakerjaan mayoritas membahas mengenai
perburuhan saja. Baginya jika undang-undang itu disebut UU Ketenagakerjaan
seharusnya yang termaktub bukan hanya mengatur masalah perburuhan, tapi
ketenagakerjaan yang lebih luas, misalnya petani, nelayan dan wiraswasta.
Karena sektor pekerjaan yang disebut itu menginginkan kelangsungan pekerjaan
dan jaminan sosial, sebagaimana buruh.
Atas dasar itu Djimanto merasa perlu ada pemisahan antara UU Ketenagakerjaan dengan UU yang menyangkut pekerja di sektor lain, namun UU utama ada di UU Ketenagakerjaan. Misalnya UU Ketenagakerjaan hanya membahas perihal pokok ketengakerjaan sedangkan untuk pekerja sektor informal ada UU Sektor Informal, UU Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut Djimanto hal tersebut akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan
Atas dasar itu Djimanto merasa perlu ada pemisahan antara UU Ketenagakerjaan dengan UU yang menyangkut pekerja di sektor lain, namun UU utama ada di UU Ketenagakerjaan. Misalnya UU Ketenagakerjaan hanya membahas perihal pokok ketengakerjaan sedangkan untuk pekerja sektor informal ada UU Sektor Informal, UU Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut Djimanto hal tersebut akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan
Berbicara
mengenai fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan
perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat
dicegah setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
UU No.13/2003 pada Bab X
tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan dalam faktanya masih jauh
dari peraturan yang telah ditulis serta mengikat bagi siapa pun yang menjadi
tanggungjawab menjalankannya. Untuk masalah pengupahan saja, para pengusaha di
Indonesia masih menggeneralisasi tentang kenaikan UMP yang sama dengan kenaikan
gaji. Gaji semestinya terdiri dari UMP ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang
sifatnya tetap. Hal ini, (saya melihat) disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: UMP yang telah ditetapkan melalui SK pemerintah yang tidak pernah
dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya Disnakertrans dan juga tidak
dikawal oleh para pekerja baik yang sudah tergabung dalam asosiasi maupun yang
belum. Perusahaan di daerah Bandung pun masih mendiskreditkan tentang masalah
pengupahan yang telah diatur pada pasal 93 yang menyatakan wajib bagi para
pengusaha untuk memberikan upah bagi pekerjanya yang sakit selama 12 bulan
sebelum pemutusan hak kerja.
Masalah kesejahteraan
bagi para pekerja oleh UU No.13/2003 masih kurang lengkap dibahas secara
mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal yang wajib dipenuhi oleh
Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Memang sampai saat ini
Indonesia telah mengatur kesejahteraan bagi para pekerja yang termaktub dalam
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru pada tanggal 19 Oktober
2004 dibuat, namun sampai waktu yang telah ditentukan undang-undang tersebut
masih belum bisa dijalankan oleh karena belum terselenggaranya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sampai saat ini masih digodok
oleh DPR RI dan Pemerintah, 11 Peraturan Pemerintah serta 10 Peraturan Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi para
pekerja Indonesia dengan BPJS sebagai penyelenggara UU SJSN tersebut. Oleh
karena itu, para Serikat Pekerja Sosial Nasional dan Komite Aksi Jaminan Sosial
sampai saat ini terus mendesak Pemerintah untuk segera memberlakukan BPJS.
Sebab sampai saat ini para pekerja masih diambang kebingungan serta ketakutan
akan lima jaminan yang belum dilindungi. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun serta Jaminan Kematian.
Hubungan Industrial yang
tercantum pada Bab XI telah secara mendetail diatur oleh UU No.13/2003. Pada
hubungan industrial tersebut mengatakan bahwa bagi para pengusaha yang telah
memiliki pekerja 50 orang wajib untuk membentuk kerjasama bipartit: forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri
dari pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah tercatat
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja
atau buruh.
Seperti yang
tercantum pada Pasal 107 yang mengatakan bahwa lembaga kerjasama tripartit
adalah untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan
pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
Lembaga kerjasam tripartit ini berskala Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau
Kota.
Dalam
UU Bab XI ini, pengusaha dan pekerja bersama-sama menyusun perjanjian
kerjasama yang baik, yang tidak berat sebelah dan melindungi hak-hak para
pekerjanya melalui pasal 116 dengan cara musyawarah, tertulis dan tersumpah.
Selain itu, diatur pula cara penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial
yang dijalankan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat yang
tercantum pada pasal 136. Apabila tidak terjadi jalan tengah yang diinginkan
oleh kedua belah pihak, maka akan terjadi pemogokan kerja yang dilakukan oleh
seorang atau organisasi pekerja sampai tuntutan para pekerja tersebut dipenuhi,
hal ini juga tercantum pada paragraph kedua dari pasal 137 sampai dengan pasal
145.
Secara garis
besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir tercukupi,
namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang harus
dibuat secara terperinci. Contoh, pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan
dan Kesejahteraan. Pada hal kesejahteraan, undang-undang ini masih saya anggap
kurang memiliki keberpihakan pada para pekerja, sebab dalam undang-undang ini
hanya dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan jaminan sosial serta
kesejahteraan para pekerja dan anggota keluarganya, namun bagaimana penentuan
kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut tidak ada pada pasal-pasal secara teperinci
membahas hal tersebut, selain itu, untuk masalah ini pemerintah hanya membuat
tiga undang-undang tentang kesejahteraan pekerja yang masih sampai saat ini
menjadi polemik antara pengusaha dan pekerja, hal ini dirasa kurang cukup untuk
menyejahterakan para pekerja Indonesia.
Apa yang
telah diuraikan Pada UU Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO yang telah
diratifikasi adalah suatu standard yang paling mendasar (Fundamental
Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun
perundang-undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi Perburuhan
Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar kewajiban-kewajiban
hukum yang ditimbulkan.
Setiap
anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang
dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja “untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan
hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja
atau serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang dibicarakan
dalam serikat pekerja; hak–hak dasar, hak–hak fundamental, ILO Core Conventions
– Konvensi Inti ILO atau nama–nama lainnya, sesungguhnya adalah sama yaitu
termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang dihadapi saat
ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai hak tersebut
ataupun tidak berani ”meminta” hak tersebut.
Sebagai
perorangan pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya
(“meminta haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka
membutuhkan organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan
hak-haknya.
Berikut contoh salah satu media massa bukti kurangnya
eksistensi UU ketenagakerjaan bab X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN dan KESEJAHTERAAN
.
Karyawan
demo minta uang makan, pasien RS Soedarso telantar
Reporter : Muhammad Hasits
Senin, 18 Maret 2013 10:27:22
Ratusan karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soedarso Pontianak,
Provinsi Kalimantan Barat, melakukan aksi unjuk rasa menuntut uang
kesejahteraan lauk-pauk. Akibat aksi unjuk rasa itu, pelayanan di rumah sakit
lumpuh. Banyak pasien tidak tertangani dengan baik
"Kami melakukan aksi guna menuntut remunerasi tahun 2012 yang belum dibayar, uang kesejahteraan pegawai dan lauk pauk agar dibayarkan setiap bulannya," kata salah seorang pengunjuk rasa yang enggan disebutkan namanya saat melakukan aksi seperti dilansir dari Antara, Senin (18/3).
"Kami melakukan aksi guna menuntut remunerasi tahun 2012 yang belum dibayar, uang kesejahteraan pegawai dan lauk pauk agar dibayarkan setiap bulannya," kata salah seorang pengunjuk rasa yang enggan disebutkan namanya saat melakukan aksi seperti dilansir dari Antara, Senin (18/3).
Demonstran juga menuntut pembayaran honor Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang
sudah tertunda dua bulan, serta transparansi pembagian remunerasi yang tidak
sesuai dengan beban kerja.
Dari pantauan di lapangan, yang bekerja di ruang Instalasi Gawat Darurat hanya dilakukan oleh petugas magang. Sehingga pelayanan tidak maksimal atau tidak bisa melayani banyaknya pasien yang ingin berobat.
Dari pantauan di lapangan, yang bekerja di ruang Instalasi Gawat Darurat hanya dilakukan oleh petugas magang. Sehingga pelayanan tidak maksimal atau tidak bisa melayani banyaknya pasien yang ingin berobat.
Salah seorang warga Sabirin yang sedang membawa anaknya yang sedang sakit
terpaksa harus pulang karena tidak ada petugas rumah sakit yang melayani. Hal
senada juga diakui oleh Zainal warga Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, yang
sudah dua jam lebih tidak dilayani.
"Mudah-mudahan pelayanan secepatnya dilakukan, karena saya sedang
membawa keluarga yang sakit," ujar Zainal.
Sementara itu, Linhar Darwis salah seorang petugas IGD membantah, pelayanan
kepada pasien lumpuh. "Pelayanan tetap jalan, kasihan warga yang ingin
berobat, sehingga kami tetap menempatkan petugas di IGD," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar