Delik Pers: Pencemaran Nama Baik


Delik Pers: Pencemaran Nama Baik
Kasus pidana dari media massa  saat ini sudah meraja lela, salah satunya mengenai kasus pidana yaitu pencemaran nama baik.Penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137.
Aturan hokum mengenai Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Disini diterakan Pasal-Pasal Penghinaan
·        Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
·        Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
·        Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
·        Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
·        Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
·        Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
·        Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.

Contoh kasus
kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan. Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus lainya
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1. Berita Buana, 4 November 1989
>>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2. Pos Kota, Juni 1990
>>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
>>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
>>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
>>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
>>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
>>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
>>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7. Tajuk, 23 Juni 1999
>>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
>>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
>>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.
Untuk itu, saya menyertakan lampiran mengenai mengapa media massa memerlukan hukum dan etika .
Sebagai institusi sosial, yang memiliki wilayah kerja yang mencakup banyak kepentingan (masyarakat, pemilik media, wartawan, logika pasar, institusi politik-sosial-ekonomi-budaya), teranglah bahwa dibutuhkan suatu perundang-undangan dan tata aturan etika atas sebuah kegiatan media massa. Kedua norma ini penting untuk melindungi masyarakat serta melindungi profesi wartawan dan institusi media massa itu sendiri.
Ada beberapa situasi yang menimbulkan urgensi pembuatan norma dalam urusan media massa:
  1. Bersifat Publik. Karena bersifat publik, media massa memiliki standar kelayakan agar berita maupun informasi layak dikonsumsi oleh publik
  2. Memuat beragam informasi. Karena memuat beragam informasi, maka media massa harus memiliki aturan—dan/atau diatur—sebagai wujud standardisasi: bagaimana metode penggalian informasi, etika dalam mencari informasi, dst.
  3. Sebagai sarana pemenuhan hak masyarakat. Karena berfungsi sebagai pemenuh hak masyarakat atas informasi, maka media massa harus punya komitmen untuk menjaga independensinya agar tak mengkhianati hak masyarakat. Independensi itu harus bisa dijamin melalui norma.
  4. Pilar Keempat (Fourth Estate) dalam negara demokratis sebagai pengontrol kekuasaan legislatif, yudikatif, eksekutif. Karena posisinya sebagai pilar keempat, media massa harus dikontrol agar kewenangan dan kekuasaannya tidak melampaui kekuasaan trias politika
  5. Memiliki kepentingan institusional: idealistis, ideologis atau bisnis. Karena memiliki kepentingan tersendiri, baik dalam level idealis-ideologis maupun bisnis, media massa harus diawasi agar tidak terjadi tabrakan kepentingan, seperti kepentingan bisnis melawan kepentingan kebenaran/validitas informasi, kepentingan idealis menafikan kepentingan populis, dst
 Etika & Hukum Media Massa
Pada bidang jurnalistik, etika dapatlah dikatakan mengatur secara internal. Artinya, etika media massa berlaku untuk lingkup institusi media massa itu sendiri, tetapi tidak memasukkan masyarakat/publik dalam pelaksanaannya. Etika media lebih bersifat institusional ketimbang bersifat publik. Kode Etik Jurnalistik misalnya, dibuat untuk menjaga kredibilitas wartawan dan pekerja media, dengan menerapkan standar-standar profesi kewartawanan yang harus dipatuhi. Akan tetapi, apabila wartawan melanggar KEJ, ia tidak mendapatkan sanksi pidana, melainkan—yang paling umum—sekedar sanksi teguran hingga dikeluarkan dari komunitas pekerja media.
Berlawanan dengan etika, persoalan pelanggaran hukum media (baik UU Pers maupun UU Penyiaran) kerapkali menimbulkan persoalan, karena banyak diantara kasus-kasus tersebut, hakim yang memutus perkara masih menggunakan landasan norma hukum pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Alasannya, hukum media belum memiliki kejelasan sanksi pidana (ataupun perdata) terhadap pelanggaran yang dilakukan para pekerja media.
Karena ketiadaan kepastian sanksi dari hukum media, pembentukan berbagai badan-badan independen sebagai pengontrol media massa sangatlah dibutuhkan (Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkonsentrasi pada hukum media, serta Ombudsman). Disamping menegakkan etika media massa, lembaga-lembaga ini juga berperan serta dalam memfasilitasi kasus-kasus hukum yang melibatkan pelapor (misalnya, tokoh yang merasa nama baiknya dicemarkan) dan pihak terlapor (wartawan, pemimpin redaksi).


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar