TUGAS
PERKOSAAN
TERHADAP ANAK DITINJAU DARI HUKUM PIDANA DAN DILIHAT DARI
UNDANG-UNDANG
NOMOR. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
DisusunUntuk
Memenuhi Uji Kompetensi 1 Mata kuliah Hukum
Pidana
DosenPengampu
:Triana Rejekiningsih SH.KN.Mpd
Oleh
:
CLARA SHERIN INDRASWARI
K6410011
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tindak pidana pemerkosaan merupakan
suatu persoalan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakrat, karena
selain menjadi beban berat baik pisik maupun psikis oleh korban, tindak pidana
pemerkosaan ini merupakan persoalan yang membebani Negara. Sering kali kita
membaca dan mendengar baik dari media cetak maupun dari media elektonik
mengenai terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Bahkan terjadinya tindak pidana
pemerkosaan ini tidak hanya di kota-kota besar saja, yang relative lebih maju
kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, melainkan juga terjadi di
pelososk-pelosok atau pedesaan yang relative masih memegang nilai tradisi dan
adat istiadat setempat, terutama pada kalangan masyarakat yang ekonominya
lemah.
Kesejahteraan anak adalah suatu tata
kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar,
baik secara rohani, jasmani maupun sosial. ). Anak memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan setiap anak kelak dapat memikul tanggung jawab
tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal secara fisik, mental maupun sosial, berahlak mulia.
Tanggal 20 November 1989, lahirnya
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak. Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya untuk menjamin
terlaksana hak-hak anak.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang di dalamnya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa
anak adalah tunas potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan setiap anak
kelak dapat memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal secara fisik, mental
maupun sosial, berahlak mulia.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 (2): Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 (2): Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Untuk mewujudkan kesejahteraan anak
maka anak perlu mendapatkan perlindungan dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-hak anak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Untuk
mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan maka diperlukan dukungan kelembagaan
dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksananya.
Kenyataan di masyarakat pada
akhir-akhir ini banyak terjadi pemerkosaan anak di bawah umur. Penyebab
terjadinya pemerkosaan anak di bawah umur adalah perilaku penampilan anak yang
tampak dewasa dari umurnya dan cara berpakaian. Menonton video porno dan
minum-minuman keras sehingga mengakibatkan pemerkosaan anak itu terjadi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Perlindungan Hukum
anak di Indonesia Terhadap kasus perkosaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor.
23 Tahun 2002?
2.
Apakah ada Pembaharuan Hukum Pidana mengenai kasus perkosaan ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERLINDUNGAN ANAK
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam penjelasan umumnya secara tegas dikatakan bahwa :Anak adalah amanah
sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Udang Dasar
1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Darwin
Prinst yang dalam bukunya mengenai Hukum Anak Indonesia berpendapat bahwa
“Sekalipun peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang
diatur dalam hukum anak itu, meliputi: Sidang Pengadilan Anak, Anak sebagai
pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, Kesejahteraan Anak,
Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian Anak
Nakal, dan lain sebagainya”
Tentang betapa pentingnya memahami Hukum Anak, dapat
disimpulkan dari konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai
Pengadilan Anak. Dimana dikatakan anak adalah bagian dari Generasi Muda,
sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang mantap dan memadai. Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan
generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari
Pembangunan Nasional dan juga tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu
masyarakat adil dan makmur serta aman sentosa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
KUHP mengatur anak sebagai korban pidana adalah belum genap
berumur 15 (lima belas) tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal-Pasal
285,287,290,293, 294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal itu tidak mengkualisinya
sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/ terhadap anak yang belum
berusia 15 (lima belas) tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Pasal 81 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut ditegaskan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Begitu juga dalam Pasal 82 ditegaskan bahwa setiap orang
yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Selain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah menegaskan tentang pemerkosaan terhadap anak
sebagaimana telah penulis paparkan diatas, pada KUHP juga dengan tegas
dijelaskan pada Pasal 285 sebagaimana berikut :
“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun penjara.
“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun penjara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak janin dalam kandungan sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
komprehensif, untuk ini melakukan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas pada Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebagai berikut :
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan kepentingan;dan Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Perlindungan anak di usahakan oleh setiap orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. .Hal ini termuat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
1. Menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama , ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau ,mental (Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan anak (Pasal 23);
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan kepentingan;dan Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Perlindungan anak di usahakan oleh setiap orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. .Hal ini termuat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
1. Menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama , ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau ,mental (Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan anak (Pasal 23);
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
B.
Pembaharuan Hukum Pidana
Berbicara
mengenai pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian kebijakan hukum
pidana (Penal Policy) di Indonesia tidak lepas dari membicarakan UUD
1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki
perundang-undangan nasioanal terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai
amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana sewajarnya
dijadikan sebagai pembangunan hukum nasional Indonesia, ada 4 (empat) komponen
utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum nasional yaitu:
“Komponen norma hukum dan
perundang-undangan, aparatur penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat, dan
pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.
Berdasarkan
pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak hukum merupakan
salah satu komponen pembaharuan hukum pidana sekaligus sebagai petugas hukum
dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana kita ketahui, komponen sistem
peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan
pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik penegakan hukum
terdiri dari atas unsur kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan, ada juga pendapat legislator merupakan komponen sistem
peradilan pidana. Sebagaimana “Sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah
satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan krimanal, maka unsur yang
terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang”.
“Peran pembuat undang-undang justru sangat
menentukan dalam politik kriminal (crimal politic) yaitu menentukan arah
kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan
sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum”.
Dapat
kita ketahui bahwa, peran dan fungsi aparatur penegak hukum sebagai profesi
yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan sesuatu hal yang penting
dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan dalam melakukan pembangunan
hukum nasional itu penting, namun usaha mempersiapkan penegak hukum profesional
yang mempunyai dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas profesinya
sebagai petugas hukum merupakan faktor utama dalam penegakan hukum.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
penulis dalam memaparkan tugas ini yakni, prospek perlindungan korban tindak
pidana perkosaan pada anak harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Undang – undang mengenai perlindungan anak Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak harus dilaksanakan . karena pada dasarnya anak itulah
yang akan menjadi penerus Bangsa ini. dalam proses peradilan pidana sebagai
pembaharuan hukum acara pidana (KUHAP) di Indonesia yang akan datang berupa,
memasukkan ketentuan saksi pidana ganti kerugian baik kompensasi, restitusi,
maupun santunan untuk kesejahteraan social ke dalam ketentuan saksi pidana
tambahan agar hakim dapat memutuskannya bersamaan dengan pidana pokok, maupun
secara mandiri jika terpidana hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal.